CANDI ASU BANDUNGAN PENUH MISTERI?
ALASAN KUNJUNGAN
Suatu ketika saya membaca sebuah postingan karya Fenisia Herva seorang alumni SMA Virgo Fidelis yang kini kuliah Pendidikan Sejarah di Universitas Kristen Satya Wacana. Tulisan tersebut membuat saya penasaran akan sosok Candi Asu yang berada di Lereng Gunung Ungaran. Karena dalam tulisan tersebut membuktikan bahwa Candi Asu tidak hanya di Magelang saja, namun di Bandungan yang lokasinya tidak terlalu jauh dari SMA Virgo juga memiliki Candi dengan nama yang identik dan unik seperti yang ada di Magelang tersebut.
HARI BERKUNJUNG
Selasa, 1 Februari 2022. Saya dengan seorang fotografer bernama Yohanes Dani berangkat pukul 7.30 WIB dari Salatiga. Berangkat pagi-pagi menjadi pilihan karena hari itu bertepatan dengan Hari Imlek yang biasanya akan turun hujan. Bahkan ketika berangkat langit mendung sudah menyelimuti. Kami berdua berangkat menggunakan sebuah motor Yamaha Vixion yang memang didesain untuk jalanan aspal. Sepanjang perjalan kami mengobrol bertukar ide seputar Sejarah dan juga Fotografi.
Setelah 45 menit dari Salatiga, sampailah kami di Taman Bunga Celosia Bandungan. Kami berhenti sejenak untuk membuka smartphone dan mengaktifkan Google Maps. Kami berdua memang tidak paham lokasi candi tersebut. Kami ikuti maps dari smartphone yang ternyata tidak terlalu jauh taman bunga tersebut. Hal yang menurut kami aneh mulai terjadi ketika lokasi candi nampak di peta, namun kami tidak segera menemukan akses jalan menuju candi tersebut. Akhirnya kami memutuskan untuk mencari informasi melalui warga dan saat itu kondisi jalan yang kita lalui sangat sepi. Kami akhirnya menemukan seorang warga diantara ladang yang sangat luas tersebut untuk kami cari informasi tentang akses jalan menuju candi tersebut. Seorang tersebut memberikan dua opsi jalan menuju keberadaan candi, untuk akses jalan yang pertama kami coba justru membawa kami ke komplek makam desa yang sangat rimbun dengan pepohonan yang didominasi bambu, kami putar balik. Untuk opsi kedua kami harus melewati jalanan yang sedikit berlumpur dan diatasnya adalah pepohonan rimbun. Kami hampir saja nyasar karena salah memilih jalan yang menanjak. Jalanan tersebut adalah jalanan setapak yang masih berwujud tanah. Saya hampir kewalahan menahan motor saya yang liar dan bannya selip karena menghadapi jalanan menanjak serta licin. Kami memutuskan berhenti dan kembali menuju pertigaan yang kami lewati tadi. Kami mencoba jalanan yang menurun dan memutuskan meninggalkan motor dipertigaan karena kondisi jalan yang tidak memungkinkan. Jalanan yang kami lalui sangat licin dengan susunan tumpukan batu yang dibuat warga sudah mulai ditumbuhi lumut. Jalan yang kami lalui sangat gelap dan lembab dengan sampingnya adalah pohon bamboo yang membuat kami sedikit ngeri dan was-was. Tibalah kami dipertigaan lagi. Ada sebuah gang dikiri jalan yang didepannya terdapat bendera umbul-umbul berwarna putih. Terdapat tiga bendera yang membawa kami menuju ke Candi Asu tersebut dengan jalanan paving yang tertutup oleh reruntuhan daun.
Kondisi yang gelap dengan rumput yang tinggi meyambut kami setibanya di Komplek Candi Asu. Bangunan yang dibiarkan lama kosong tak terurus, sampah plastik yang dibakar pada sebuah batu cagar budaya, kembang beserta kemenyan yang ditaruh di depan relief anjing, serta batuan candi yang belum disusun ulang menambah kesan seram pada candi ini. Papan peringatan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata perlahan mulai ditutup karat. Misteri terbesar yang saat menyelimuti saya adalah kenapa ada papan peringatan dari dinas tetapi situs cagar budaya ini dibiarkan terbengkalai??
(akses masuk menuju candi, ada bendera putihnya)
(bentuk candi, terdapat relief kepala kala dan relief anjing)
Kami kemudian meninggalkan area candi dan istirahat di jalanan beton tempat biasa warga berlalu-lalang berharap bertemu seseorang yang bisa ditanya seputar candi itu. Sebuah keluarga petani dengan anggota tiga orang. Keluarga petani itu membawa hasil kebun yang dibawa menggunakan gerobak kecil dan ada seorang anak yang ikut duduk digerobak tersebut. Pak Sarwito adalah petani itu yang kemudian dengan ramah bertanya kepada kami. Kami memanfaatkannya untuk bertanya seputar candi tersebut. Pak Sarwito sebagai Linmas menjelaskan banyak hal yakni yang berhubungan dengan candi, para pengurusnya dan juga misteri serta mitos yang ada dalam candi tersebut. Bahkan pak sarwito menawari kepada kami jika ingin bertemu dan bertanya banyak hal bisa menghubungi beliau, bahkan beliau mengajak kami mengunjungi candi tersebut pada kondisi setelah maghrib atau malam hari. Lalu beranikah kami? Pak Sarwito juga menjelaskan untuk tidak usah mengambil video. Hmmm… sepertinya ada yang janggal?
(Timotius P.S - Pak Sansan, Penulis-Guru Sejarah SMA Virgo Fidelis)